Suatu sore dengan arsiran hujan dan kilatan petir. Mendelemon
sedang duduk termenung di sebelah kanan dari tangan kirinya, wajahnya
menghadap jendela yang terbuka dan matanya menatap ke langit. Matanya
yang bulat itu mengamati setiap lekuk-lekuk kegelapan awan. Seketika itu
pula petir besar menggelegar, Mendelemon dengan sigap mengambil pena
dan mulai menulis pada selembar kertas di hadapannya “Petir1= 300 Desibel”.
sedang duduk termenung di sebelah kanan dari tangan kirinya, wajahnya
menghadap jendela yang terbuka dan matanya menatap ke langit. Matanya
yang bulat itu mengamati setiap lekuk-lekuk kegelapan awan. Seketika itu
pula petir besar menggelegar, Mendelemon dengan sigap mengambil pena
dan mulai menulis pada selembar kertas di hadapannya “Petir1= 300 Desibel”.
Tak sampai satu menit berselang kembali terdengar suara petir yang
memekakkan telinga, ini petir yang jauh lebih dahyat, bahkan membuat
bumi seolah-olah berguncang. Mendelemon tak sempat menutup telinganya,
tangannya sibuk mencatat “Petir2 =800 Desibel” tertulis pada kertas
dihadapannya. Kemudian Mendelemon bergumam “Petir kedua yang menjadi
pemenangnya!”. TAMAT
memekakkan telinga, ini petir yang jauh lebih dahyat, bahkan membuat
bumi seolah-olah berguncang. Mendelemon tak sempat menutup telinganya,
tangannya sibuk mencatat “Petir2 =800 Desibel” tertulis pada kertas
dihadapannya. Kemudian Mendelemon bergumam “Petir kedua yang menjadi
pemenangnya!”. TAMAT
Iya, karena cerpen itu pendek, memiliki alur, dan terdapat penyelesaian konflik, maka ini termasuk cerpen. Terserahku lahh. 😛
=_=
haha.. thanks kunjungannya 😛
wasem. dari judulnya kukira serius. ternyata!
Whaha.. iya khan cerpen dengan judul yang tepat
itu juga udah selesaii mengadu petirnya.. 😛